Menggaungkan Surabaya Membaca





Oleh : Prita Hendriana Wijayanti*

Dimuat di Ruang Publik Metropolis, Jawa Pos pada Kamis, 04 Maret 2010

MEMASUKI usia 717 tahun pada Mei nanti, Surabaya boleh berbangga. Deretan prestasi yang mengiringi perjalanannya layak diapresiasi. Salah satunya, penghargaan yang diberikan majalah Foreign Direct Invesment (FDI) yang menjadikan Surabaya sebagai salah satu di antara Asian Cities of The Future. Artinya, Surabaya adalah kota masa depan di Asia.

Sebelumnya, Surabaya berhasil menjadi nomor satu untuk kategori Best Cost Effectiveness yang membandingkan pendapatan rata-rata warga dengan pengeluarannya. Artinya, Surabaya merupakan kota paling efektif se-Asia. Itu sesuai hasil survei biaya hidup lembaga riset Mercer. Surabaya termasuk kota paling murah se-Indonesia dan merupakan kota termahal ke-21 (Jawa Pos, 27 Januari 2010).

Seiring dengan itu, kapasitas pengetahuan masyarakat Surabaya sudah selayaknya ikut diperhatikan. Seperti ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang punya masyarakat pembelajar. Indikatornya bisa dilihat dari suka membaca. Begitu pula Surabaya, kota besar yang terus bertumbuh juga harus diikuti peningkatan pengetahuan masyarakatnya.

Disadari atau tidak, sebenarnya Surabaya sudah memiliki embrio menuju arah itu. Geliat aktivitas literasi yang banyak didukung berbagai elemen masyarakat menjadi sinyal positif. Komitmen pemkot melalui Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya dalam merealisasikan Perda No 5 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perpustakaan perlu didukung.

Dalam perda tersebut, ruang-ruang publik seperti pusat perbelanjaan dan lainnya wajib memiliki fasilitas sudut baca atau semacamnya. Sebelumnya, pemerintah menggagas sudut baca di ruang publik seperti halnya Puskesmas Pucang dan Taman Flora. Perpustakaan kota juga sudah memiliki beberapa unit mobil perpustakaan keliling yang rutin berkunjung ke sekolah-sekolah dan taman kota.

Kemudian, 22 Desember 2009, hadir rumah pintar Juanda Cendekia. Kendati secara administratif berada dalam wilayah Sidoarjo, Juanda tetap menjadi ikon pintu gerbang menuju Surabaya. Setidaknya, letaknya yang berbatasan masih sangat memungkinkan bagi warga Surabaya untuk berkunjung.

Tentu, perhatian yang lebih pada pengembangan minat baca dengan penyediaan fasilitas berupa sudut baca, taman baca, atau apalah namanya menjadi sangat penting. Sebab, tak semua masyarakat Surabaya mampu memenuhi kebutuhan akses bacaan yang harganya masih lumayan untuk golongan marginal. ''Lebih baik mengurusi perut'', ''Yang penting kan sekolah...'', begitu mungkin dalih mereka.

Bila latar belakang ekonomi menjadi salah satu faktor vital rendahnya minat baca, tentu tak salah bila berdasar hasil riset minat baca anak-anak Indonesia tergolong rendah dan paling bontot jika dibanding negara Asia lain. Karena itu, pemerintah dan golongan masyarakat yang lebih berdaya harus bersinergi dalam hal ini.

Kontribusi masyarakat yang lebih berdaya itu tampak pada tumbuh suburnya berbagai komunitas literasi. Mulai menyuarakan isu literasi melalui media online sampai sekumpulan anak muda pencinta dunia sastra dan tulis-menulis seperti Esok (Emperan Sastra Cok -Cepetan Ojo Keri) dan Forum Lingkar Pena Jatim.

Ada pula Insan Baca yang membangun sebuah jaringan pengelola perpustakaan independen, sehingga para anggotanya bisa saling berbagi informasi. Ditambah, taman baca masyarakat yang tumbuh pesat, baik yang didorong atas inisiatif pribadi maupun di bawah lembaga independen, serta di pos-pos pendidikan anak usia dini (PAUD).

Menurut Arini Pakistyaningsih, kepala Baperpus Surabaya, jumlah taman baca masyarakat akan mencapai 315 lokasi pada 2010 ini (www.dewankotasurabaya.org). Wow!

Itu belum cukup. Surabaya punya ikon baru untuk semakin menggaungkan aura membaca warganya. Peresmian Pasar Buku Indonesia Cerdas (PBIC) pada 23 Januari lalu menjadi fakta yang makin melengkapi gaung Surabaya membaca. Mal buku itu menempati kompleks Kapas Krampung Plaza yang sudah lama mangkrak.

Impiannya, PBIC mampu menjadi pusat perdagangan buku terbesar di kawasan Indonesia Timur. Itu ditujukan dalam rangka menjadi solusi bagi masyarakat yang tinggal di kawasan yang tak mudah memperoleh akses buku, bahkan untuk mendapatkannya dengan cara membeli pun. Hebatnya, Ikapi Jatim yang menjadi pelaksana hariannya juga mengajak serta komunitas literasi untuk bergabung. Kegiatan literasi seperti lomba, wisata buku, sampai bedah buku pun rutin diadakan.

Kejutan terbaru adalah akan terjadinya ''gempa literasi'' di 32 ''titik gempa'' di setiap ibu kota provinsi, termasuk Surabaya. Sebab, Sub-Direktorat Pengembangan Budaya Baca Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan Nasional pada 21-24 Februari lalu menyelenggarakan Konsolidasi Forum Taman Bacaan Masyarakat Se-Indonesia. Terpilihlah Gol A Gong, penulis dan pendiri Rumah Dunia di Kampung Ciloang, Serang, Banten, sebagai ketua forum.

Kini, sudah tak ada waktu untuk terus berkeluh kesah tentang rendahnya minat baca dan menganalisis penyebabnya. Langkah terpenting selanjutnya adalah mengenali potensi dan embrio yang ada. Kemudian, melejitkannya menjadi energi positif yang mampu mengawal mimpi membaca menjadi gaya hidup.

Menggaungkan Surabaya membaca, Jawa membaca, dan Indonesia membaca tentu tak bisa dilakukan dengan melangkah sendiri-sendiri demi kepentingan organisasi atau komunitasnya. Semua harus dilakukan bergandengan tangan.

Karena itu, sinergi pemerintah, orang tua, sekolah, guru, pengelola ruang publik, media, penerbit, toko buku, dan komunitas literasi sangat mendesak dilakukan. Ada baiknya pemerintah mengimbangi indikator keberhasilan programnya. Tidak saja dilihat dari segi kuantitas, tapi juga memikirkan kualitas serta keseriusan menjalankan program dengan lebih baik.

Misalnya, mulai melibatkan komunitas dalam pengelolaan sudut baca, sehingga menghindarkan perekrutan SDM yang tidak memiliki minat dan kompetensi di bidang tersebut. Atau, mengadakan forum diskusi bersama, sehingga pemerintah bisa melihat kebutuhan riil taman baca masyarakat yang berkembang.

Mari lupakan kesenjangan, kita jalin sinergitas. Lejitkan Surabaya menjadi kota dengan masyarakat pembelajar lewat kebiasaan membacanya. Semoga. (*/mik)

*) Koordinator Insan Baca dan pendiri Pondok Baca Bocah Surabaya

Baca juga di Suara Guru

Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar